JURNAL PEMBELAJARAN: AKSI NYATA TOPIK 4
(Merancang Pembelajaran
Berbasis Pendekatan Culturally Responsive Teaching)
1. DOKUMEN AKSI NYATA (RPP BERBASIS CRT)
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA
(Berbasis CRT) Topik:
Teks Anekdot: Mengidentifikasi dan Menganalisis Makna Tersirat (Kritik Sosial)
|
Komponen |
: |
Deskripsi |
|
Mata Pelajaran |
: |
Bahasa Indonesia |
|
Fase / Kelas |
: |
E / Kelas 10 |
|
Nama Penyusun |
: |
Rasimun |
|
Alokasi Waktu |
: |
2 x 45 Menit (1 Pertemuan) |
A. TUJUAN PEMBELAJARAN (UbD-Oriented)
- Murid dapat mengidentifikasi makna
tersirat (kritik/sindiran) dalam teks anekdot.
- Murid dapat menganalisis relevansi kritik
yang disampaikan dalam anekdot dengan konteks sosial-budaya mereka.
B. ASESMEN AWAL (CRT-Focused Assessment)
- Diagnostik Kesiapan: Pertanyaan singkat tentang perbedaan
antara teks lucu (humor) dan teks kritik (sindiran).
- Diagnostik Funds of Knowledge
(CRT):
Diskusi kelas (aktivasi):
- "Siapa komika (Stand-up
Comedian) favorit kalian? Isu apa yang sering mereka angkat?"
- "Di lingkungan
kalian, bagaimana biasanya orang menyampaikan kritik? Apakah secara
langsung, atau melalui sindiran/guyonan?"
C. KEGIATAN PEMBELAJARAN BERBASIS CRT (5 Langkah)
|
Langkah CRT |
Alur Kegiatan Pembelajaran |
|
1. Identitas Diri Murid |
Aktivasi (Hook): Guru memulai dengan hasil asesmen funds
of knowledge (langkah B). Guru mengaitkan bahwa Stand-up Comedy
adalah bentuk modern dari anekdot, dan cara menyampaikan kritik
(langsung/tidak langsung) sangat dipengaruhi oleh budaya. |
|
2. Pemahaman Budaya |
Eksplorasi (Diferensiasi Konten CRT): Murid dibagi menjadi kelompok. Setiap
kelompok mendapatkan contoh teks anekdot yang berbeda, yang relevan secara
budaya: * Teks 1: Anekdot klasik (misal: Gus Dur, Nasrudin Hoja). * Teks 2:
Transkrip stand-up comedy lokal yang sedang viral. * Teks 3:
Anekdot/cerita lucu dari konteks daerah (misal: Kabayan, jika relevan dengan
konteks sekolah). |
|
3. Kolaborasi |
Murid dalam kelompok (diusahakan heterogen
secara budaya) mendiskusikan: "Siapa yang dikritik dalam teks ini?
Masalah apa yang diangkat? Mengapa disampaikan melalui humor?" |
|
4. Berpikir Kritis untuk Refleksi |
Diskusi Kelas (Dipandu Guru): Setiap kelompok membagikan temuannya. Guru
memandu refleksi: "Mengapa anekdot/humor sering dipilih sebagai cara
mengkritik di Indonesia? Apakah ini cara yang efektif?" |
|
5. Konstruksi Transformatif |
Aksi (Asesmen Formatif): Sebagai exit ticket, murid diminta
menulis satu paragraf singkat yang berisi kritik terhadap sebuah isu di
lingkungan sekolah (misal: kantin, parkir, kedisiplinan) dengan menggunakan
gaya bahasa yang santun/humoris (anekdot mini). |
D. ASESMEN SUMATIF (Diferensiasi Produk CRT)
- Murid diminta membuat analisis anekdot
(bisa dari koran, media sosial, atau pengalaman pribadi) yang relevan
dengan kehidupan mereka.
- Diferensiasi Produk: Murid boleh memilih format yang sesuai
dengan gaya komunikasi budaya/profil belajar mereka: (1) Esai analisis
tertulis; (2) Rekaman audio (Podcast) analisis; (3) Video presentasi ala
komika.
2. REFLEKSI AKSI NYATA (Topik 4: CRT)
Mempelajari Culturally
Responsive Teaching (CRT) memberikan wawasan baru yang paling mendalam dari
seluruh modul. Jika pada topik sebelumnya saya fokus pada perbedaan kemampuan
dan minat murid, CRT menyadarkan saya bahwa saya juga harus secara aktif
merespons perbedaan budaya dan latar belakang pengalaman mereka.
Wawasan paling kuat adalah
pergeseran dari memandang keragaman budaya murid sebagai potensi hambatan
dalam keseragaman kelas menjadi aset (kekayaan) yang harus
diintegrasikan dalam pembelajaran. Hal ini didukung oleh konsep funds of
knowledge, yang mendorong saya memanfaatkan pengalaman hidup murid
(misalnya konteks stand-up comedy, bahasa daerah, atau tradisi) sebagai
jembatan untuk memahami materi akademis.
Pemahaman CRT ini akan
secara signifikan memengaruhi RPP/Modul Ajar saya ke depannya. Saya akan
menambahkan instrumen yang lebih sensitif budaya untuk memetakan funds of
knowledge murid saat asesmen awal. Saya juga akan lebih berani menerapkan Diferensiasi
Produk yang responsif terhadap budaya, seperti memberikan pilihan format
(misal: cerita lisan/podcast vs. esai tertulis) untuk menghargai beragam gaya
komunikasi budaya. Dengan mengintegrasikan CRT, saya berharap dapat menciptakan
pembelajaran yang tidak hanya terarah dan adaptif, tetapi juga transformasional,
memberdayakan setiap murid untuk melihat diri mereka dan budaya mereka sebagai
pilar penting dalam proses pembangunan pengetahuan.

"Terima kasih Pak Rasimun atas rancangan RPP-nya. Ini sangat inspiratif!
BalasHapusKekuatan Utama: Saya sangat terkesan dengan bagaimana Bapak/Ibu menggunakan Culturally Responsive Teaching (CRT) secara otentik. Langkah Asesmen Awal (Funds of Knowledge) yang mengaitkan materi anekdot dengan Stand-up Comedy adalah langkah yang brilian. Ini 'menjemput' murid di dunia mereka dan membuat materi yang mungkin terasa kaku (Teks Anekdot) menjadi sangat relevan dan menarik.
Apresiasi Tambahan: Diferensiasi Konten (menggunakan teks Gus Dur, transkrip stand-up viral, dan cerita lokal seperti Kabayan) juga sangat kuat. Ini menunjukkan penghargaan terhadap berbagai bentuk humor dalam budaya kita. Saya yakin Langkah 3 (Kolaborasi) akan sangat hidup di kelas."
Terimakasi Bu Ovitra atas umpan baliknya yang sangat berguna
Hapus"Salut untuk RPP Teks Anekdot-nya, Pak Rasimun . Rancangan ini benar-benar mencerminkan pemahaman mendalam tentang CRT dan Diferensiasi.
BalasHapusAspek Paling Berdampak: Bagi saya, bagian Asesmen Sumatif (Diferensiasi Produk) adalah yang paling menonjol. Dengan memberi pilihan (Esai tertulis, Podcast, atau Video ala Komika), Bapak/Ibu tidak hanya mengakomodasi profil belajar yang berbeda, tetapi juga secara aktif menghargai gaya komunikasi budaya yang beragam. Murid yang kuat dalam lisan/bercerita (yang mungkin merupakan bagian dari budayanya) mendapat kesempatan yang sama untuk bersinar seperti murid yang kuat dalam menulis akademis.
Saran/Pertanyaan Reflektif: Ini bukan kritik, lebih ke rasa penasaran. Pada Langkah 3 (Kolaborasi), bagaimana Bapak/Ibu akan memfasilitasi kelompok yang heterogen secara budaya agar diskusi tetap berjalan efektif dan tidak didominasi oleh satu budaya/kelompok yang lebih vokal? Mungkin bisa dipertimbangkan penggunaan 'Kartu Peran Diskusi' sebagai scaffolding proses."
Terimakasi Pak Yudi atas umpan baliknya . Saran dari Bapak sangat berguna sekali.
BalasHapus